Berkut ini cerita rakyat Jawa Timur dari Tengger yakni legenda Roro Anteng dan Joko Seger : Konon pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri bernama Roro Anteng dan Joko Seger. Roro Anteng dikenal sebagai wanita yang cantik dan berbudi, sementara Joko Seger merupakan sosok lelaki yang tampan.
Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Dongeng Persahabatan Kera dan Ayam Budaya Nusantara berkembang sangat luas dari Sabang sampai Merauke. Pada artikel blog The Jombang Taste sebelumnya kita sudah membaca cerita dongeng Sigarlaki dan Limbat dari Sulawesi Utara serta dongeng asal-usul Puteri Duyung dari Sulawesi Tengah. Artikel kali ini menampilkan cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yang berjudul cerita fabel persahabatan kera dan ayam. Selamat membaca. Pada jaman dahulu hidup dua binatang yang bersahabat erat, yaitu kera dan ayam. Mereka berdua tinggal di dalam hutan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kelihatannya mereka berdua selalu hidup rukun dan darnai. Tapi, kenyataan sebenarnya tidaklah demikian. Setelah sekian lama mereka bersahabat, barulah ketahuan perilaku buruk si kera. Pada suatu hari si kera membuat siasat untuk menjebak ayam. “Hai Ayam, sahabatku,” panggil kera dengan muka manis. “Ada apa kera?” jawab ayam. “Sore-sore begini enaknya kita jalan-jalan. Maukah kau pergi bersamaku?” kata kera dengan nada merajuk. “Memang kita mau pergi ke mana? ” tanya ayam ingin tahu. “Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke hutan. Disitulah tempat aku biasa bermain. Di sana tempatnya indah. Pasti kamu akan suka!” ujar si kera seraya mernbujuk. Kera Menjebak Ayam di Hutan Ayam tertarik dengan ajakan si kera. Ia tidak pernah tahu kalau kera punya tempat bermain yang indah. Tanpa rasa curiga sedikitpun, ia mengikuti kera untuk berjalan-jalan di hutan. Ayam berjalan di belakang kera. Hari semakin gelap, perut kera mulai meronta-ronta minta diisi. Saat itulah timbul niat busuk kera untuk mencelakai ayam. “Untuk apa aku susuh-susah mencari makanan. Di belakangku saja sudah ada makanan yang sangat lezat,” pikiran kera mulai licik. Kera melihat ayam tampak kebingungan masuk ke dalam hutan. Ayam itu tampak besar dan segar. Hmm, pasti enak kalau daging ayam itu masuk ke dalam perutnya. Kera berpikir, jika ayam hendak dimakannya, lebih baik jika tanpa bulu. Oleh karena itu, ia hendak mencabuti bulu ayam terlebih dahulu. Kera mengatur waktu yang tepat untuk menangkap ayam. Ayam dan kera berjalan semakin jauh dan masuk ke dalam hutan. Saat itu hari makin gelap, kera pun melaksanakan niatnya. Ia segera menangkap ayam. “Kena kau!” ujar kera kegirangan saat berhasil menangkap ayam. Ayam tampak terkejut melihat perlakuan kera. “Mengapa kau menangkapku? Bukankah kita saling bersahabat?” tanya ayam dengan nafas terengah-engah. “Dulu kita sahabat. Tapi sekarang aku lapar. Maka kau harus mau jadi makananku,” kata kera dengan tawa terbahak-bahak. Kera yang jahat itu kemudian mencabuti bulu-bulu si ayam. “Tidak…! Jangan kau cabut buluku! Sakit…!” teriak ayam dengan suara pilu. Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Ayam mencoba lari dari cengkeraman si kera jahat. Lalu pada sebuah kesempatan yang tepat, ayam mematuk tangan kera hingga kera itu melepaskan tubuh ayam dalam genggamannya. Setelah berusaha keras tanpa mengenal lelah melompat kesana-kemari, akhirnya ayam berhasil melarikan diri. Ayam berlari sekencang-kencangnya keluar dari hutan. Setelah sekian lama ayam berlari, tibalah ia di rumah sahabatnya yang lain. Ayam tiba di rumah kepiting. Kepiting yang melihat ayam tidak berbulu dan tampak kelelahan membuatnya penasaran. Ia pun bertanya. “Kamu kenapa, ayam? Mengapa napasmu terengah-engah? Kenapa bulu-bulumu rontok semua?” tanya kepiting dengan rasa iba. “Kepiting, aku dicelakai oleh sahabatku sendiri si kera. Ia hendak memakanku,” jawab ayam dengan napasnya yang masih terengah-engah. “Kurang ajar! Tega sekali kera berbuat seperti ini kepadamu,” ucap kepiting tidak percaya. Kemudian ayam menceritakan kejadian dari awal sampai akhir. Mulai dari ajakan kera mengunjungi tempat bermain sampai ia dijebak oleh kera dan akan dimakannya. “Kera harus kita beri pelajaran!” ucap kepiting dengan geram usai menyimak penuturan ayam. Ayam dan kepiting kemudian mengatur siasat untuk memberi pelajaran kepada si kera. Mereka tampak bermusyawarah dengan serius. Tak lama kemudian kepiting membantu ayam menyembuhkan bulu-bulunya yang rontok. Pembalasan Untuk Kera Pengkhianat Beberapa bulan kemudian bulu-bulu di tubuh ayam telah pulih. Ayam dapat mencari makan seperti sedia kala. Ayam kembali bertemu dengan kepiting. Kepiting mengajak ayam menemui kera. Awalnya ayam tidak mau. Ia masih takut kepada kera. “Inilah saat yang tepat untuk menghukum sahabat pengkhianat macam kera itu,” kata kepiting berusaha meyakinkan ayam. “Tapi aku masih takut…” kata ayam. “Tenanglah. Aku akan membantumu,” ujar kepiting. Akhirnya ayam menuruti ide kepiting. Pada hari yang telah disepakati bersama, mereka berdua datang ke tempat kera. Kera tampak asyik duduk di kursi malas. Ayam masih tampak ketakutan melihat si kera. Ia ragu untuk berbicara dengan kera. Akhirnya, kepitinglah yang berbicara kepada kera. “Hai kera, dua hari lagi aku dan ayam akan pergi berlayar ke pulau seberang. Disana banyak makanan enak,” ujar kepiting kepada kera. “Benarkah? Bolehkah aku ikut berlayar dengan kalian,” ucap kera penuh harap. “Boleh saja. Dua hari lagi kami tunggu di pantai. Jangan sampai terlambat ya,” kata kepiting. Tibalah pada hari yang telah disepakati. Mereka berdua bertemu di pinggir pantai. Sebelum mereka berangkat berlayar, perahu dari tanah liat telah disediakan. Ayam dan kepiting sengaja mempersiapkan jauh-jauh hari rencana pembalasan ini. Mereka bertiga bergegas naik perahu menuju pulau seberang. Perahu yang mereka tumpangi semakin lama semakin menjauh dari pantai. Kera yang rakus mulai membayangkan betapa lezatnya buah-buahan yang akan disantapnya nanti, sedangkan ayam dan kepiting mulai saling memberi sandi. Ayam berkokok, “Kukuruyuk….! Aku lubangi kok… kok…. kok….!” Si kepiting menjawab, “Tunggu sampai dalam sekali.” Setiap Kepiting selesai berkata begitu, ayam mematuk-matuk perahu itu. Mereka kemudian mengulangi permainan itu lagi. Si Kera sama sekali tak mengerti apa sebenarnya yang dilakukan ayam dan kepiting. Sedikit demi sedikit perahu itu berlubang. Air laut mulai merembes ke dalam perahu. Lama-kelamaan perahu yang mereka tumpangi bocor. Kera mulai panik tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perahu semakin lama semakin tenggelam. Kepiting dan ayam bersiaga meninggalkan kera. Mereka bertiga berusaha menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Si kepiting menyelam ke dasar laut, sedangkan si ayam dengan mudah terbang ke darat. Si kera tampak ketakutan sendirian di atas perahu. Pada dasarnya kera paling takut pada air, apalagi air laut. Ia berusaha meronta-ronta minta tolong, tapi siapa yang dapat menolongnya karena ia sendirian di tengah lautan. Kera juga tidak bisa berenang, maka matilah si kera yang licik itu di tengah lautan yang dalam. Demikian akhir dari cerita fabel kera dan ayam. Amanat cerita dongeng kera dan ayam ini adalah perbuatan jahat akan mendapatkan balasan yang menyakitkan. Jika kita mempunyai sahabat, maka kita tidak boleh mengkhianati sahabat kita. Selain itu, sifat rakus kera telah mematikan kepandaiannya sehingga ia menemui celaka akibat perbuatannya sendiri. Semoga cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara ini bisa memberi inspirasi bagi Anda. Sampai jumpa di artikel The Jombang Taste berikutnya. Daftar Pustaka Rahimsyah, MB. 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Lengkap dari 33 Provinsi. Bintang Usaha Jaya, Surabaya Artikel Terkait
CeritaRakyat Dari Sulawesi Selatan. Dalam buku ini dimuat sembilan cerita rakyat dari Sulawesi Selatan. To Dilaling (Orang yang Hijrah) I Laurang Manusia Udang. Orang Yang Berdada Emas. Abunawas dan Orang Buta. Si Pembunuh Rajawali.
Apakah kalian tahu burung Garuda yang menjadi lambang negara kita? Konon burung Garuda sangat besar dan kuat. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara yang akan Kakak ceritakan malam hari ini berkisah tentang seorang ksatria dan Burung Garuda. Kisah ini menjadi legenda asal muasal terbentuknya Gunnung Mekongga yang berada di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Kalian pasti suka dengan dongeng anak yang kakak ceritakan malam hari ini. Selamat membaca. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Mekongga Dahulu kala, daerah Kolaka dilanda musibah yang cukup mengerikan. Seekor burung garuda raksasa sering datang memangsa ternak penduduk. Penduduk banyak yang kehilangan ternak milik mereka. Lama-kelamaan, mereka khawatir ternak mereka akan habis. Dan jika tidak ada ternak lagi yang bisa disantap, penduduk khawatir burung garuda raksasa juga akan memangsa manusia. Kekhawatiran ini yang membuat beberapa wakil warga mencari seorang cerdik pandai bernama Larumbalangi. Ia terkenal dengan kesaktiannya, karena keris sakti, dan sarung sakti yang bisa dipakai untuk terbang. Mereka meminta pendapat Larumbalangi untuk melawan garuda raksasa itu. “Mudah saja. Kalian cari bambu tua dan buatlah menjadi beberapa bambu rucing. Kemudian pilihlah seseorang kesatria untuk dijadikan umpan. Bawalah orang itu ke tengah lapangan dan pagari dengan bambu-bambu runcing itu. Ujung bambu yang runcing haruslah menghadap ke atas. Biarkan ia menjadi daya tarik burung garuda raksasa untuk mendekat. Kelika burung itu sudah dekat, suruh orang tersebut menusukkan bambu runcing yang dipegangnya ke perut burung itu dan biarkan burung tersebut jatuh menancap pada bambu-bambu runcing di sekelilingnya.” Warga pun melaksanakan saran Larumbalangi. Mereka mencari orang yang bersedia dijadikan umpan untuk memancing burung garuda raksasa. Dengan demikian, diadakanlah sayembara bagi orang yang bersedia menjadi umpan. Jika pemenangnya seorang budak, ia akan dibebaskan dan diangkat menjadi bangsawan. Namun jika pemenangnya adalah seorang bangsawan, ia akan diangkat menjadi pemimpin. Dari sekian banyak orang yang berminat, hanya satu orang yang memenuhi syarat. Ia adalah seorang budak bernama Tasahea dari Negeri Loeya. Pada hari yang ditentukan, Tasahea dibawa ke tengah Padang Bende. Ia dikelilingi oleh beberapa bambu runcing yang sudah ditancapkan ke tanah. Kemudian semua warga mulai bersembunyi. Menjelang siang, tiba-tiba suasana menjadi mendung. Itu pertanda burung garuda raksaa telah datang. Burung mengerikan itu melihat mangsanya di Padang Bende. Burung itu mulai terbang mendekat. Tasahea segera mengambil kuda-kuda. Pada jarak yang cukup dekat, Tasahea melemparkan bambu runcing yang dipegangnya tepat mengenai perut burung garuda. Burung garuda raksasa itu menjerit keras. Ia terjatuh dan menancap ke bambu-bambu runcing yang sudah dipasang. Burung itu kembali menjerit kesakitan, dengan luka-luka di tubuhnya, ia mengepakkan sayapnya menjauh. Namun, karena lukanya cukup parch dan tenaganya sudah habis, ia jatuh dan mati di puncak gunung. Penduduk Kolaka bersuka cita. Mereka mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, pada hari ketujuh, terjadilah wabah penyakit. Di mana-mana tercium bau bangkai. Banyak penduduk terserang penyakit muntah-muntah dan sakit perut, hingga meninggal dunia. Tumbuh-turnbuhan terserang ulat. Hasil panen termakan ulat, sehingga penduduk terserang kelaparan. Rupanya, bangkai burung garuda raksasa di atas gunung itu membusuk dan menimbulkan banyak penyakit. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Ksatria Dan Burung Garuda Beberapa orang wakil dari penduduk kembali mendatangi Larumbalangi. Mereka menceritakan bencana baru yang menyerang desa mereka. Larumbalangi terdiam sejenak sebelum kemudian berkata, “”Pulanglah kalian sekarang. Musibah ini akan segera berakhir.” Setelah mereka semua pergi, Larumbalangi berdoa kepada Yang Maha Kuasa. “Ya Tuhan. Tolong selamatkan penduduk Kolaka yang sedang dilanda masalah. Turunkanlah hujan besar hingga dapat menghanyutkan bangkai burung garuda dan ulat-ulat di pepohonan ke laut.” Tuhan mengabulkan permohonan Larumbalangi. Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya. Sungai di Kolaka meluap. Bangkai dan tulang belulang burung raksasa serta ulat-ulat hanyut ke laut. Wilayah Kolaka pun bebas dari musibah mematikan itu. Gunung tempat jatuhnya burung garuda raksasa itu dinamakan Gunung Mekongga yang artinya tempat jatuhnya burung raksasa. Sementara itu, Tasahea, kesatria yang rela menjadi umpan burung garuda diangkat derajatnya menjadi bangsawan. Kemudian Larumbalangi dipilih sebagai pemimpin Negeri Kolaka. Di Kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara terdapat Gunung Mekongga dengan ketinggian sekitar 2620 m. Gunung Mekongga adalah gunung tertinggi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pesan moral dari Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Ksatria Dan Burung Garuda adalah selama menghadapi segala persoalan kita tidak boleh mudan putus asa. Ikuti cerita rakyat Sulawesi Tenggara lainnya pada artikel kakak berikut ini Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi
Cerita Rakyat – reinha.com. Oheo adalah seorang pemuda tampan yang bermata pencaharian sebagai petani tebu di daerah Kendari, Sulawasi Tenggara, Indonesia. Pada suatu hari, Oheo dikejutkan oleh sebuah peristiwa aneh di kebunnya. Ia mendapati tanaman tebunya hampir habis.
Secaraadministratif, kota ini mempunyai 64 kelurahan dan 10 kecamatan. Diresmikan pada tanggal 07 Mei 1831, Kendari kini genap berusia 190 tahun pada 2022 ini. Selain sebagai tempat perdagangan, ternyata kota tersebut juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Tanah Air kita. Banyak momen penting terjadi di kota ini, bukan hanya sejarah unik
pv64P3. 0jyyb7zpfq.pages.dev/630jyyb7zpfq.pages.dev/870jyyb7zpfq.pages.dev/2930jyyb7zpfq.pages.dev/2020jyyb7zpfq.pages.dev/210jyyb7zpfq.pages.dev/2540jyyb7zpfq.pages.dev/4750jyyb7zpfq.pages.dev/316
cerita rakyat dari sulawesi tenggara